Jumat, 30 September 2011

Mendidik Diri dengan Wasiat Nabi


Mendidik Diri dengan Wasiat Nabi





Tidak diragukan lagi, masing-masing kita mendambakan terciptanya suasana kebahagiaan, kebersamaan, dan ketentraman baik dalam urusan dunia maupun agama bahkan negara. Banyak usaha yang dilakukan tetapi nyatanya tidak menghasilkan apa yang diharapkan, sementara kita meyakini bahwa tidak ada satu kesulitan pun kecuali pasti ada jalan keluarnya.



Allah berfirman, "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (terjemah QS Asy Syarhu / Alam Nasyrah: 6).
Allah juga berfirman, "Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (terjemah QS Ath Thalaq: 4).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Ibnu Abbas (yang artinya), "Ketahuilah, bahwasanya kemenangan bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan dan sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
Sudah saatnya untuk kita bercermin kepada segala upaya yang dikerahkan dalam membina kehidupan di keluarga, lingkungan, masyarakat, dan lebih luasnya lagi negara. Sudahkah kita jujur kepada Allah dan KitabNya, kepada Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnahnya, dalam hal aqidah, akhlaq, ibadah, dan muamalah? dimana hal ini adalah pintu masuk ruang kebahagiaan dan kebersamaan.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rosul yang terakhir, tidaklah meninggalkan umatnya kecuali telah menerangkan apa yang dibutuhkan mereka dalam membangun kehidupan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, inilah kesempurnaan dien. Allah berfirman,




]"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatku dan telah kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu." (terjemah QS Al Maaidah: 3).








Allah juga berfirman,

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu." QS An Nahl: 89.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah, serta Ad Darimy dari sahabat Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah berkata (yang artinya), "Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata.
Maka kami bertanya, 'Wahai Rosulullah! Seakan-akan nasehat ini adalah nasehat yang terakhir maka berilah kami wasiat.'
Nabi bersabda, 'Aku wasiatkan padamu agar tetap bertaqwa kepada Allah, serta tetap mendengar perintah dan taat, walaupun yang memerintah kamu itu seorang budak, maka sesungguhnya orang yang masih hidup di antaramu nanti akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atasmu memegang teguh akan Sunnahku dan perjalanan para khulafa ar rosyidin yang diberi petunjuk, peganglah olehmu sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhilah olehmu bid'ah, sesungguhnya segala bid'ah itu sesat.'"
Sungguh Rosulullah telah memberikan nasehat yang agung dan wasiat yang sempurna ini kepada umat Islam dimana beliau menunjukkan mereka kepada perkara-perkara yang besar, tidak akan tegak urusan dien dan dunia kecuali dengan komitmen terhadapnya dan mengikutinya. Tidak ada jalan keluar dari problematika kehidupan kecuali dengan mengamalkannya dengan seksama di zaman yang dipenuhi dengan tipu daya, dibenarkannya para pendusta dan didustakannya orang-orang yang jujur, serta dipercayanya para pengkhianat dan dikhianatinya orang-orang terpercaya.

Sungguh sangat disesalkan tatkala terlihat mayoritas umat Islam sudah tidak bersandar lagi kepada Al Qur'an tidak pula kepada Sunnah dalam aqidahnya, di saat semaraknya orang-orang yang berhati setan dan bertubuh manusia serta memuncaknya kebid'ahan-kebid'ahan, wallahul musta'an. Adapun wasiat-wasiat yang disampaikan Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itu ialah:



Pertama: tidak ada dien kecuali dengan taqwa yaitu taat kepada Allah, melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi laranganNya. Taqwa adalah sebab dipermudahnya segala urusan dien dan dunia serta dibukanya berkah dari langit dan bumi. Allah berfirman,
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi."  QS Al A'raaf: 96.

Kedua: tidak akan tegak urusan-urusan umat baik dunia maupun dien kecuali dengan pemimpin yang sholeh, adil,menuntun mereka kepada Kitab dan Sunnah Rosulullah, menerapkan di tengah-tengah mereka syariat Allah, mengatur barisannya dan menyatukan kalimatnya serta mengangkat bagi mereka bendera jihad untuk meninggikan kalimat Allah. Sedangkan atas umat agar menerima dengan penuh taat baik dalam hal yang disukai maupun dibenci, selama pemimpin itu istiqomah di atas perintah Allah dan menjalankan hukum-hukumNya.

Demi merealisir kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, menjaga kesatuannya dan melindungi darah-darahnya. Islam mewajibkan taat dalam hal yang ma'ruf (baik) atas umat terhadap waliyul amri / pemerintah sekalipun mereka bermaksiat, selama kemaksiatannya tidak sampai pada kekafiran.

Ketiga: Wasiat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencakup sikap yang harus dilakukan umat dari perselisihan dan terhadap orang yang menyelisihi Al Haq, beliau menunjuk agar berpegang teguh dengan Al Haq dan kembali kepada manhaj yang benar, manhaj Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafa ar rosyidin radhiyallahu 'anhum. Tidaklah Sunnah dan manhaj mereka kecuali Kitabullah -yang tidak pernah didatangi kebatilan dari arah depan maupun belakang- serta Sunnah Rosulullah yang suci. Allah berfirman,



 "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (terjemah QS At Taubah: 100). Inilah solusi yang benar yang dapat menghentikan perselisihan dengan cara yang diridhoi Allah.
Keempat: Wasiat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga meliputi peringatan terhadap bid'ah, sangat sering beliau memperingatkan umatnya dari bahaya dan kerusakan yang ditimbulkannya dengan penjelasan yang gamblang bahwa bid'ah adalah kesesatan.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- demikianlah kita mesti memulai untuk menyadarkan dan mendidik setiap diri-diri kita agar kembali kepada wasiat Allah dan RosulNya, kembali kepada konsep hidup nabawi, bersungguh-sungguh untuk menegakkan ibadah kepada Allah dan membuktikannya, sehingga akan terciptalah kebaikan dalam diri kita, dalam diri istri-istri kita, dan dalam keluarga kita. Ketahuilah bahwa:

baiknya diri adalah baiknya keluarga
baiknya keluarga adalah baiknya masyarakat
baiknya masyarakat adalah baiknya lingkungan
baiknya lingkungan adalah baiknya negara
baiknya negara adalah baiknya umat
baiknya umat adalah baiknya alam secara keseluruhan bi idznillah.

Wal ilmu indalllah.



Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.






























































POLA PENDIDIKAN ISLAM


POLA PENDIDIKAN ISLAM
PADA PERIODE RASULULLAH : MEKKAH DAN MADINAH

Pola pendidikan Islam, Rasulullah SAW adalah pendidik pertama dan terutama dalam dunia pendidikan Islam. Proses transpormasi ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan emosional yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai mukjizat luar biasa yang Islam periode Rasulullah terlihat dari kemampuan murid-mudirnya (para sahabat) yang luar biasa misalnya ; Umar ibn Khattab, ahli hukum dan pemerintahan, Abu Hurairah ahli hadits, Salman al-Farizi ahli perbandingan agama (Majusi, Yahudi, Nasrani, Islam). Dan Ali ibn Abi Tholib ahli hukum dan tafsir al-Qur’an.
Pola dan gabaran pendidikan islam di periode Rasulullah SAW, fase Mekkah dan Madinah merupakan sejarah masa lalu yang perlu diungkapkan sebagai bahan perbandingan, sumber gagasan, gambaran strategi, menyukseskan pelaksanaan, sumber pendidikan Islam. Pda periode tersebut rasulullah saw menggunakan metode evaluasi, materi, kurikulum, pendidik, peserta didik, lembaga, dasar, tujuan dan sebagainya yang bertalian dengan pelaksanan pendidikan Islam baik secara teoritis maupun praktis.
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah baik di Mekkah maupun madinah adalah al-Qur’an, yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa, yang dialami ummat Islam saat itu, hasilnya dapat dilihat dari sikap rohani dan mental pada pengikutnya, yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat yang tangguh, tabah, dan sabar tetapi aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Rasulullah juga menyuruh para sahabat untuk mempelajari bahasa asing ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam sifatnya universal, berlaku untuk semua umat di dunia, bukan hanya tertentu untuk masyarakat Mekkah dan Madinah.



A.    Pendidikan  Islam pada fase Mekkah
Pola pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah saw memiliki beberapa tahapan-tahapan dakwah yang disampaikan kepada kaum quraisy antara lain :
1.      Tahap rahasia dan perorangan
Pada pendidikan yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi sosio politik yang belum stabil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya. Pada tahap ini disebut dengan assabiquna  awwalun artinya orang-orang yag mula-mula masuk Islam. Pada tahap ini berlangsung selama 3 tahun.
2.      Tahap terang-terangan
Pola ini dilakukan oleh Rasulullah  seiring dengan jumlah sahabat yang semakin banyak dan untuk meningkatkan jangkauan seruan dakwah, karena diyakini dengan dakwah tersebut banyak kaum Quraisy yang akan masuk Islam.
3.      Tahap untuk umum
Pada tahap ini Rasulullah menyampaikan kepada kayalah umum misalnya pada musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah pada jamaah haji, inilah bentuk dakwah Rasulullah secara umum, dakwah kepada setip ummat manusia yang datang dari seluruh penjuru bumi berhaji ke Mekkah.
Materi pendidikan yang diberikan di mekkah terdiri dari 3 macam insisari meteri pembelajaran yaitu :
1)      Pendidikan keimanan
Yang menjadi pokok pertama adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa, beriman bahwa Muhammad adalah Nabi dan rasul Allah, diwahyukan kepada al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengajaran bagi seluruh ummat manusia.
2)      Pendidikan ibadah.
Amal ibadah yang diperintahkan di Mekkah adalah shalat, sebagai pernyataan mengabdi kepada Allah, ungkapan syukur, membersihkan jiwa, dan menghubungkan haji kepada Allah.
3)      Pendidikan akhlak
Materi pendidikan tahid dalam teori dan prakteknya lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrohim, yang telah diselewengkan oleh masyarakat Jahiliyah.
Pendidikan tauhid diberikan melalui cara-cara menuntun akal pikiran dengan mengajak umatnya untuk membaca, memerhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri.

B.     Pedidikan Islam pada fase Madinah
Pada fase madinah materi yang diberikan cakupannya lebih kompleks dibandingkan dengan materi pendidikan pada fase Mekkah seperti :
1.      Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju ke satuan sosial, dan politik.
2.      Materi pendidikan sosial dan kewarganegaraan, yang terdiri dari : pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin, pendidikan kesejahteraan, pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat agar terbentuk ummat manusia yang lebih luas tentram dan damai
3.      Materi pendidikan khusus anak-anak yang berupa pendidikan tauhid, pendidikan shalat pendidikan adap sopan santun dalam keluarga, masyarakat, dan pendidikan kepribadian.
4.      Materi pendidikan pertahanan dan ketahanan dakwah Islam.
Di samping  materi pendidikan di atas pada dasarnya bidang pendidikan masih banyak yang diterapkan Rasulullah seperti materi pendidikan ekonomi Islam. Berkenaan hal ini banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang membahas  tentang aturan-aturan Islam tentang jual beli, karena kondisi masyarakt Arab Mekkah dan Madinah yang benar melakukan perdagangan. (At-Tijaroh)

JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT

baweanis''''

JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT

Kepada ustadz, saya mempunyai pertanyaan dan mohon penjelasannya.
Bagaimana hukumnya jual-beli barang dengan sistem kredit? Apakah sama dengan riba? Demikian pertanyaan saya, atas jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallahu khairan katsiran.

Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com

Dijawab oleh:
Al Ustadz Luqman Baabduh

Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At  melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satuTirmidzi, bahwa Rasulullah  transaksi jual beli.

As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya  bersabda:Rasulullah 
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An  melarang transaksi jual beli (2Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah  harga) dalam satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah  bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:
“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda  yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :Rasulullah 
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)

Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.
Wallahu a’lamu bisshawaab.

dunia zikir

Add caption
Dzikir dan Majelis Dzikir
Firman Allah dalam surat AlBaqoroh ayat 198:
واذكروه كما هداكم وإن كنت من قبله لمن الضالين
Artinya: “ Dan berdzikirlah (dengan menyebut Allah) sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang – orang yang sesat “.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir beliau : Taisiirul Kariimir Rahmaan fii tafsiiri Kalaamil Mannaan menjelaskan: “ Berdzikirlah Allah Ta’ala sebagaimana Ia telah menganugerahkan hidayah (petunjuk) kepadamu setelah engkau berada dalam kesesatan. Dan sebagaimana Ia telah mengajarimu hal-hal yang engkau tidak ketahui sebelumnya. Ini adalah termasuk nikmat yang terbesar yang wajib disyukuri dengan berdzikir kepada (menyebut) Si Pemberi Nikmat dengan hati dan lisan”.
Ayat ini turun sebabnya berkaitan dengan ibadah haji, sebagaimana pada ayat sebelum dan sesudahnya, demikian juga penjelasan yang disebutkan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthuby, maupun At-Thobary. Tetapi kaidah penafsiran para Salafus Sholeh: “ Ibarat itu diambil berdasarkan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab” sebagaimana dinyatakan sendiri dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Fathul Baary (syarah Shahih Bukhary). Kaidah ini berlaku sampai ada dalil lain yang menentang bahwa ayat tersebut bersifat umum. Dalil-dalil yang ada dalam hal ini justru menunjukkan bahwa semua ibadah termasuk dzikir harus sesuai dengan petunjuk dan syariat Allah melalui lisan Rasul-Nya.
Berdzikir memang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan lafadz-lafadz yang dicontohkan oleh Rasulullah, yang terkait dengan keadaan, waktu, tempat, atau bilangan tertentu. Barangsiapa yang mengikatkan suatu lafadz dzikir tertentu dengan jumlah tertentu, kaidah tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat-nya, berarti ia telah membuat dan mengada-adakan syariat baru dalam agama ini. Cukuplah peringatan Allah dan Rasul-Nya :

أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله

“ Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka (sesuatu dari) agama yang tidak diidzinkan Allah ? (Q.S. 42 : 21).

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“ Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka tertolak ( Hadits Riwayat Muslim dari Aisyah).
Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman:
“ Dan Allah memiliki Asmaaul Husna, maka berdoalah dengannya (Nama-Nama itu)…(Q.S. Al-A’raaf:180).
Maka bagaimana kita bisa menyebut Allah, berdzikir dan berdoa dengannya kalau kita tidak tahu apa Asmaaul Husna itu ? Dari mana kita tahu asmaaul Husna tersebut kalau tidak diberi petunjuk oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya ?
Jika kita memaksakan diri untuk berdzikir kepada Allah tanpa petunjuk dari-Nya melalui lisan Rasul-Nya bisa jadi kita akan terjerumus ke dalam perbuatan sesatnya orang-orang sufi yang berdzikir dengan lafadz – lafadz , seperti Yaa…hu.. yaa… hu.., atau kalimat Laa ilaha illallah, karena diucapkan secara cepat menjadi terpotong, yaitu illallah… illallah, yang tentu saja mengakibatkan arti yang jauh berbeda (hanya itsbat saja , tanpa ada nafi). Atau yang dilakukan kelompok dzikir tertentu yang melampaui batas hingga berteriak-teriak, menangis, dan histeris.